Terungkap! Maladministrasi Proyek TPA dan Sekolah Unggulan di SPMB Sulsel 2025, Ketum Perjosi Desak APH Usut Anggaran
MAKASSAR – Pelaksanaan Tes Potensi Akademik (TPA) secara daring dalam rangkaian Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026 tingkat SMA/SMK di Sulawesi Selatan kembali menuai polemik.
Ketua Umum Perserikatan Journalist Siber Indonesia (Perjosi), Salim Djati Mamma, mengungkapkan bahwa proyek senyap ini diperkirakan menelan anggaran publik hingga Rp 1 miliar, meskipun dasar regulasi dan urgensi pelaksanaannya dinilai lemah dan menyimpang dari ketentuan nasional.
Bung Salim menyebutkan bahwa TPA yang dilaksanakan secara daring diklaim oleh panitia SPMB melibatkan sekitar 180.000 peserta dari seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
"Dari hasil kajian investigatif Koran Harian 55 dan analisis tim Perjosi, pelaksanaan tes ini justru menyimpan indikasi maladministrasi, pemborosan anggaran, bahkan dugaan rekayasa perencanaan," tegasnya saat dihubungi Minggu (22/06/2025) via selular.
Berdasarkan simulasi anggaran dari sumber internal, biaya pelaksanaan TPA daring terbagi ke dalam tiga komponen besar, yakni Pengembangan sistem TPA online Rp 400 juta. Sewa server cloud dan bandwidth Rp 300 juta. Penyusunan dan validasi soal (verbal, numerik, logika) Rp 300 juta.
"Totalnya menyentuh Rp 1 miliar. Itu belum termasuk biaya operasional lokal, honor panitia sekolah, dan biaya kontinjensi teknis," tambah Bung Salim.
Mantan wakil ketua PWI Sulsel ini juga menuturkan, menurut Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025, TPA sebagai tes terstandar hanya diperuntukkan bagi sekolah yang menerima siswa pada jalur prestasi seperti sekolah unggulan reguler provinsi, sekolah berasrama, dan sekolah yang mengalami kelebihan pendaftar pada jalur prestasi.
"Artinya, hanya sebagian kecil sekolah dan peserta yang diwajibkan mengikuti TPA sesuai ketentuan. Estimasi realistisnya hanya sekitar 20% dari total peserta atau sekitar 36.000 siswa yang benar-benar membutuhkan TPA," jelasnya.
Bung Salim menambahkan bahwa anggaran seharusnya hanya seperempat dari yang dialokasikan. Dengan asumsi teknis proporsional dari data pendaftar yang terverifikasi di SMAN 1 Makassar 986 pendaftar dan SMAN 2 Makassar 1098 pendaftar. Jika dirata-rata, maka peserta sah TPA di sekolah unggulan hanya sekitar 4.000 siswa. Demikian pula sekolah berasrama dan sekolah-sekolah yang mungkin akan kelebihan kuota se Sulsel dapat diperkirakan jumlah pendaftar pada jalur prestasi sekitar 20.000 - 30.000 pendaftar.
"Dengan biaya teknis yang rasional, anggaran wajar tidak lebih dari Rp 250 juta. Artinya ada selisih Rp 750 juta yang patut dipertanyakan," tegas mantan Dirut Harian Ujungpandang Ekspres ini.
Menanggapi temuan ini, Ketum Perjosi menyampaikan desakan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan alokasi anggaran TPA.
"Kami menduga ada ketidaksesuaian antara regulasi dan implementasi di lapangan. Jika tidak diatur dalam Permendikdasmen atau juknis sah, maka ini masuk kategori pelanggaran administratif dan pemborosan uang negara," ujar Bung Salim.
Ia juga mengkritik penetapan sekolah unggulan reguler yang dinilai menyimpang dari asas pemerataan pendidikan dan sistem zonasi nasional. Kepala sekolah dari salah satu yang ditetapkan sebagai SMAN unggulan reguler bahkan tidak dapat memberikan penjelasan bagaimana, mengapa dan apa keunggulan sekolahnya dengan berkilah karena ada SK penetapannya dari Disdik.
"Keputusan itu terburu-buru, sarat kepentingan elit birokrasi, dan minim partisipasi publik serta pengawasan independen," lanjutnya.
Menurut wartawan senior bidang kriminal ini, publik juga mempertanyakan validitas dan urgensi TPA sebagai instrumen seleksi utama, apalagi digunakan untuk membentuk kasta sekolah favorit berbasis provinsi.
"Kalau hanya sebagian kecil siswa yang wajib ikut TPA, mengapa seolah semua harus ikut dan anggaran digelontorkan untuk semua? Dinas Pendidikan harus menjawab ini secara terbuka," tutupnya.
Ketum Perjosi bahkan menyebut adanya indikasi praktik manipulatif dalam dokumen pelaksanaan SPMB 2025, termasuk kemungkinan adanya penyimpangan tafsir juknis demi meloloskan proyek pengadaan sistem TPA skala besar.
Sebelumnya juga, Ketua DPRD Sulsel, Andi Rachmatika Dewi, mendesak evaluasi total terhadap pelaksanaan SPMB. Pemprov Sulsel dinilai gagal mengantisipasi persoalan yang muncul.
Cicu juga mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel melalui Dinas Pendidikan (Disdik) untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan SPMB.
Ia menilai sistem seleksi yang digunakan Disdik Sulsel justru jauh dari substansi pendidikan itu sendiri.
Cicu menegaskan, pendidikan seharusnya menjadi instrumen untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan, bukan malah menyisihkan potensi peserta didik.
Ketua Partai Nasdem Makassar itu juga menyoroti kebijakan baru terkait pembentukan sekolah unggulan di setiap kabupaten/kota di Sulsel.
Ia menyebutkan, program ini diluncurkan secara terburu-buru dan minim sosialisasi, sehingga membingungkan orang tua dan siswa.
“Program sekolah unggulan ini terkesan terburu-buru dan mendadak. Tidak ada sosialisasi yang memadai, orang tua dan siswa jadi tidak punya waktu persiapan. Pemerintah seharusnya memperhitungkan kesiapan semua pihak,” tegasnya.
Kadis Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Iqbal Najamuddin, sejak diberitakan tidak pernah merespon, bahkan terdengar kabar tidak pernah berani menemui wartawan yang mengkritik kinerja Disdik. Demikian juga dengan Kabid SMA Muh Nur Kusuma, hanya berjanji akan menjawab semua pertanyaan dari redaksi koranharian55.com. (al/akc)